PANDEMI COVID-19: MOMENTUM UNTUK MEMBANGUN KEMBALI FUNGSI KELUARGA SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN PERTAMA DAN UTAMA

Fenomena penyebaran wabah Covid-19 (Coronavirus Disease) yang merebak di berbagai negara tak terkecuali Indonesia merupakan pandemi yang mengancam kehidupan manusia. Akibat Covid-19 ratusan ribu orang telah terinfeksi positif dan ribuan orang meninggal dunia di sejumlah negara begitupun di Indonesia. Dengan demikian, wabah covid-19 telah melahirkan suasana darurat di tanah air. Pemangku kebijakan pun mengambil langkah inisiatif untuk memutus mata rantai penyebaran virus dengan menerapkan pola hidup baru mulai dari pembatasan interaksi sosial (sosial dan phisycal distancing) yang diwujudkan dengan beraktifitas dari rumah, menggunakan masker dan rajin cuci tangan, karantina mandiri bagi individu dengan kondisi dan status kesehatan tertentu, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta karantina wilayah (lockdown) di daerah tertentu.

Kebijakan ini tentunya berdampak terhadap aktivitas masyarakat, mulai dari berkerja, berjualan, kuliah dan sekolah yang diliburkan dan diganti dengan bekerja dan belajar di rumah saja. Kondisi dan situasi tersebut tentunya menimbulkan perubahan khususnya dalam proses pendidikan, pola pendidikan yang biasanya dilaksanakan secara klasikal di depan kelas berubah menjadi pembelajaran daring (pembelajaran jarak jauh). Sebenarnya, hal tersebut dapat dijadikan momentum bagi para orang tua untuk membangun kembali fungsi keluarga sebagai pusat pendidikan pertama dan utama yang sudah lama bergeser dikarenakan terjadinya perubahan sosial, politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki andil yang cukup besar terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Maka tak heran kebanyakan orang tua cenderung menyandarkan sepenuhnya tanggungjawab mendidik anak kepada sekolah atau lembaga-lembaga lain di luar keluarga. Seolah-olah hanya dipundak para guru dan mereka beban mewujudkan pendidikan yang maju dan berkualitas. Banyak orang tua yang hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak mereka. Sehingga mereka lupa bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah dalam keluarga.

Oleh karena itu dengan adanya kebijakan “merumahkan” siswa membuat sebagian orang tua gelagapan dalam mendidik anak. Mereka cenderung memiliki persepsi bahwa perannya hanya sebatas menggantikan pengajaran guru di sekolah, sebatas mengawasi belajar secara daring dan membantu anak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Padahal bukan hanya itu, sebagai orang tua hendaknya menyadari bahwasanya pendidikan anak-anaknya saat ini kembali menjadi tanggungjawab sepenuhnya, kembali ke kodratnya bahwa orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi seorang anak terutama dalam hal pembentukan karakter seorang anak. Berdasarkan uraian diatas, sudah semestinya orang tua mampu menciptakan “rumah” sebagai “ruang kelas utama” bagi proses pendidikan anak-anaknya terutama dalam hal penanaman nilai-nilai akidah, akhlak, dan moral. Karena fungsi keluarga sebagai fungsi pendidikan harus tetap hidup dan bernyawa secara utuh terutama di masa pandemi saat ini.

Upaya tersebut dapat terwujud apabila orang tua mengoptimalisasikan peran dan tanggungjawabnya sebagai pendidik dalam keluarga untuk menciptakan “rumah” yang ramah sebagai “ruang kelas utama” tempat anak belajar. Berikut adalah cara bagaimana orang tua dapat mengoptimalisasikan peran dan tanggungjawabnya dalam mendidik anak:

1.    Meningkatkan kemampuan dalam memerankan diri sebagai orang tua

Keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar bagi anak. Oleh karena itu situasi yang baik harus diciptakan yaitu situasi terdidik yang kondusif, dan dalam hal ini dituntut kesadaran dari orangtua selaku penanggungjawab atas anak-anaknya. Dengan kata lain, baik ayah maupun ibu keduanya wajib meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan (skill) dalam mengasuh (parenting) dan mendidik anak serta mengetahui masa perkembangannya agar mampu memahami dan merangsang kebutuhan belajar anak sehingga ia dapat berkembang kompetensi perkembangan diri anak baik aspek moral spiritual, sosial emosional, intelektual, fisik motorik, bahasa dan seni secara optimal hingga dewasa nanti.

2.   Memenuhi kebutuhan ekonomi, fisik, dan psikologis anak

Pemenuhan ekonomi merupakan hal pokok yang harus diperhatikan orang tua untuk bisa memfasilitasi anak-anaknya dalam belajar baik di rumah atau di sekolah. Peran orang tua dalam memenuhi kebutuhan fisik anak juga tak dapat dikesampingkan, karenanya orang tua harus mampu memberikan kebutuhan 4 sehat 5 sempurna yang halal lagi baik untuk anak-anak mereka agar dalam masa pertumbuhannya dapat berkembang secara optimal. Begitupun dengan peran orang tua dalam memenuhi kebutuhan psikologis anak menjadi mutlak dibutuhkan, sebab kebutuhan perhatian, kasih sayang, dorongan dan dukungan akan sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang kepribadian anak. Maka dari itu orang tua dianggap sebagai fasilitator, dalam hal menyediakan lingkungan dan sarana belajar anak untuk mengembangkan potensinya. Semakin terpenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, akan semakin berkembang juga potensi-potensi yang dimilikinya. Selain itu, orang tua juga berperan sebagai motivator yang dilakukan dengan cara memberikan dorongan dan dukungan bagi berbagai hal yang menjadi bakat dan minat anak-anaknya.

3.   Membekali anak dengan pengetahuan agama

Bekal pengetahuan agama kepada anak merupakan hal yang sangat fundamental, dengan kata lain orang tua harus mampu memberikan dasar-dasar pemahaman dan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam ajaran agama. Karena apabila anak telah memahami dan melaksanakan aturan-aturan yang telah diyakini dalam agamanya insyaallah anak akan selamat dunia akhirat. Agama apapun pasti mengajarkan cara beribadah yang baik sesuai dengan keyakinan, berbakti pada orang tua dan berbuat baik. Untuk itu orang tua juga harus memahami betul keyakinannya. Jangan sampai terjadi hal seperti orangtua selalu hanya menyuruh anaknya untuk sholat dan mengaji tetapi oangtuanya sendiri tidak melakukan hal tersebut. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan dan semakin membuat si anak menjadi pembangkang.

4.   Menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui penerapan pola asuh anak yang positif

Dalam proses mengasuh anak, setiap orang tua mempunyai sikap yang berbeda terhadap masing-masing anak mereka. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orangtua, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang, pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Begitupun pola pengasuhan anak pada keluarga dengan kedua orangtua bekerja pasti akan berbeda pada keluarga dengan istri hanya bertindak sebagai ibu rumah tangga.

Sebagian orang tua ada yang menerapkan dengan pola yang lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter. Bahkan ada pula yang orang tua yang bersikap acuh tak acuh.

Maka dari itu orang tua hendaknya menerapkan pola pengasuhan yang positif (positive parenting), artinya pola pengasuhan yang disesuaikan dengan masa perkembangan anak, sehingga dalam mengasuh, mendidik dan dalam mengukir nilai moral bisa sesuai dan tepat dengan kebutuhannya. Kedekatan antara ibu dan anak sama pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrat pasti akan ada perbedaan. Walaupun begitu, keduanya harus berusaha membangun komunikasi yang efektif untuk menjalin hubungan emosional dengan anak, dimulai dari mendengarkan dengan penuh perhatian dan menunjukkan ketertarikan saat anak berbicara. Hal ini sangat diperlukan agar anak merasa dihargai dan diperhatikan dan sebaiknya orang tua tidak terburu-buru dalam memberikan nasihat, menceramahi, atau memberi solusi ketika anak sedang menceritakan permasalahan atau pengalamannya. Dan hindari pola asuh yang selalu membandingkan, memarahi, memerintah, menyalahkan, bahkan membohongi. Orang tua juga diharapkan untuk tidak memaksakan kehendak pada anak untuk sesuatu yang di luar keinginan dan kemampuan anak. Seperti memaksakan anaknya untuk belajar taekwondo, sementara anak memiliki bakat di bidang seni. Orang tua juga harus memiliki sikap sabar dan toleran, serta tidak membiarkan dirinya meluapkan emosi yang negatif ketika anaknya sedang menunjukkan emosi negatif, karena secara tidak langsung hal tersebut dapat berpengaruh pada kepribadian anak dalam hal pengaturan emosi. Dan apabila anak melakukan kesalahan maka hendaknya orang tua memberikan hukuman (punishment) yang positif juga efektif dan memberitahu mereka bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan supaya anak tidak mengulangi kesalahannya lagi. Orang tua juga hendaknya sering memberikan motivasi dan pujian jika anak melakukan sesuatu dengan berhasil. Jika ayah dan ibu bekerja sama dalam menerapkan pola pengasuhan yang positif seperti ini maka akan terjalin kedekatan emosional dengan anak dan terciptanya keluarga yang harmonis.

5.   Menjadi Role Model

Model adalah figur tempat anak bercermin. Jika ia kagum dengan gambaran yang dalam cermin itu, ia akan memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan identifikasi dan imitasi. Sehingga sudah sepantasnya ayah dan ibu menjadi role model atau panutan bagi anak-anaknya, sebab orang tua adalah figur yang paling dekat dan orang yang paling sering dilihatnya. Karena setiap ucapan maupun tingkah laku orang tua selalu mendapat perhatian serius dari anak, bahkan anak cenderung meniru tingkah laku orang tuanya. Kecenderungan manusia untuk meniru, menyebabkan keteladanan menjadi sangat penting, artinya dalam proses pendidikan dalam keluarga sikap dan perilaku baik ucapan maupun perbuatan orang tualah yang akan dicontoh dan ditiru oleh anaknya. Maka dari itu, orang tua harus mandidik dirinya terlebih dahulu sebelum menjadi role model untuk memberikan keteladanan dan contoh yang nyata dalam berbagai hal melalui kegiatan sehari-hari sehingga anak belajar secara tidak langsung tentang sikap dan perilaku dari orang tuanya. Orang tua pasti mengharapkan anaknya menjadi orang yang shaleh, maka tunjukkan cara bertutur kata yang baik dan sopan, membiasakan menjaga kebersihan, membiasakan hidup hemat dan sederhana, sehingga anak bisa berempati pada orang lain yang masih berada di bawah garis kesejahteraan, dan membiasakan mencium tangan kepada orang yang lebih tua dan memberi salam, dan sebagainya semua nilai-nilai akhlak yang baik perlu dicontohkan dan dilestarikan dimulai dari lingkungan keluarga agar anak terbiasa menjadi pribadi yang baik. Maka dari itu, tumbuhkanlah kekaguman anak pada ayah dan ibunya dengan banyak memperlihatkan kebaikan dan keteguhan jiwa dalam memegang prinsip.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memang orang tua mempunyai peran dan tanggungjawab yang besar dan berat dalam memberikan bimbingan dan mendidik anak-anaknya. Terutama figure ayah dan ibu sebagai penyemai benih norma-norma dan nilai-nilai agama harus mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri anak dengan memberi teladan dan mampu mengembangkan pribadi yang berakhlak mulia dengan penuh tanggungjawab dalam suasana penuh kasih sayang antara orang tua dan anak akan tercipta “rumah” yang ramah sebagai “ruang kelas utama” tempat anak belajar. Jika para orang tua melakukan optimalisasi dalam peran dan tanggungjawabnya sebagai pendidik pertama maka fungsi keluarga sebagai pusat pendidikan pertama dan utama akan kembali hidup dan bernyawa secara utuh.

 

Komentar

  1. Wah mantap. Terimakasih atas ilmunya kak

    BalasHapus
  2. Wahh.. Pas banget sama judul tugas artikel saya. Makasih kak👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini juga sebagian dari KTI yang saya bikin sebagai tugas aowkwkwk

      Hapus

Posting Komentar