TEORI POSKOLONIAL: EDWARD W. SAID

Edward W. Said adalah salah satu tokoh filsafat (filsuf) dan pemikir besar pada abad ke-20. Said adalah seorang intelektual Palestina–Amerika yang meletakkan dasar-dasar teori kritis di bidang poskolonialisme.

 

A.     Biografi Edward W. Said[1]

Nama lengkapnya adalah Edward Wadie Said, lahir di Yerussalem, tepatnya di daerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat) pada 1 November 1935 dari pasangan Ibu yang bernama Hilda (Seorang Palestina kelahiran Nazareth) dan Ayah yang bernama Wadie Said (Seorang Amerika Serikat kelahiran Yerussalem). Ayahnya adalah seorang pedagang alat-alat tulis dan buku yang juga mempunyai bisnis di Kairo, Mesir. Sebelumnya Ayahnya juga pernah menjadi anggota American Expeditionary Force di bawah pimpinan Jenderal John J. Pershing pada Perang Dunia Pertama tahun 1917. Ayahnya beserta keluarganya kemudian dilekatkan status kewarnegaraan Amerika karena karir militernya.

Nama “Edward” diberikan oleh Ibunya karena seorang Pangeran Inggris yang bernama Pangeran Edward menjadi terkenal dan populer pada 1935, tepat di tahun kelahirannya. Edward W. Said mempunyai empat Adik Perempuan bernama Jean, Rosy, Joyce, dan Grace.

Sejak lahir, Edward W. Said memang tidak pernah lepas dari paradoks identitas. Hidup di lingkungan Palestina yang nyaris berpenduduk Muslim saat itu, dengan nama depan “Edward” berasal dari Inggris dan nama tengah “Wadie” dari nama sang Ayah yang lebih senang dianggap sebagai orang Amerika, serta nama belakang “Said” berasal dari Arab, membuat Edward W. Said selalu merasa sebagai “yang lain”, yang berjuang untuk tidak menjadi “Edward” ciptaan Ibunya, tidak pula menjadi seorang “Wadie” ciptaan Amerika yang tak pernah jelas genealoginya, serta tidak pula menjadi “Said” yang selalu memaksakan aturan hidup kepadanya.

Edward W. Said menghabiskan masa kecilnya di Yerussalem dan Kairo, dimana ia belajar di sekolah-sekolah elit Inggris, sebagai berikut:[2]

·         1941 di GPS (Gezira Preparatory School) di Lebanon. Sedangkan pendidikan rohaninya ia dapatkan di Gereja All Saints’ Cathedral.

·         1942-1943 ia meninggalkan Kairo sehingga berhenti sekolah.

·         1943-1946 ia kembali ke sekolah

·         1946 musim gugur, ia masuk CSAC (Cairo School for American Children).

·         1949 ia masuk VC (Victoria College) cabang Mesir.

      Hal yang menarik bagi pendidikan Said waktu itu adalah bahwa ia bersekolah dalam suasana multi-etnis dan multi-religius dalam Komunitas Timur Tengah.

Namun pada 1951, Said dikeluarkan dari VC (Victoria College) karena kenakalannya. VC adalah sekolah terakhir Said sebelum ia pindah ke Amerika Serikat dan masuk ke Princeton University dengan jurusan Sejarah dan Sastra Inggris, di kampus inilah karakter Said mulai terbentuk. Kegiatan membaca, menulis dan berpidato dijadikan benteng untuk melindungi dirinya dari pengaruh buruk lingkungan sosial Princenton. Sebab, saat itu sebagian besar mahasiswa Princenton lebih suka berkumpul membuat club-club dan berhura-hura. Said kemudian mencoba menulis kolom pertamanya di koran mahasiswa Princenton tentang pencaplokan Terusan Suez dalam perspektif Arab. Bermula dari tulisan yang sangat berani itu, Said semakin leluasa mempelajari relasi antara sastra, politik, agama dan kekuasaan. Said akhirnya berhasil meraih gelar Sarjana di Princeton University pada 1957. Setelah itu, pada 1958-1963 ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Harvard dengan jurusan Sastra Inggris dan berhasil meraih gelas Magister pada 1960 dan gelar Doktoral pada 1964.

Edward W. Said berhasil menjadi Profesor Pelawat (Dosen Tamu) dalam bidang Perbandingan Sastra di Universitas Harvard pada 1974. Kemudian ia merupakan Fellow di Center for Advanced Study in Behavioral Science, Universitas Stanford pada 1975-1976. Kemudian ia juga merupakan Profesor Parr dalam bidang Sastra Inggris dan Perbandingan Sastra di Columbia pada 1977 serta menjadi Profesor Old Dominion Foundation dalam Ilmu Budaya. Setelah itu, pada 1979, ia merupakan Profesor Pelawat Ilmu Budaya di Universitas Johns Hopkins.

Edward W. Said selanjutnya bergabung di Universitas Columbia sebagai pengajar di Departemen Sastra Inggris dan Perbandingan Sastra, dan meraih gelar Profesor pada 1991 dan tetap bekerja di Universitas Columbia sampai tahun 2003. Setelah menjadi pengajar tetap di Columbia, Edward W. Said juga mengajar di Universitas Yale.

Edward W. Said juga merupakan ketua Modern Language Association, editor Arab Studies Quarterly di American Academy of Arts and Sciences, Anggota Dewan Eksekutif International PEN, dan anggota sejumlah lembaga prestisius, seperti: American Academy of Arts and Letters, Royal Society of Literature, Council of Foreign Relations, dan American Philosophical Society.

Pada akhirnya, Edward W. Said meninggal dunia pada hari Kamis, 25 September 2003 di rumah sakit New York dalam usianya yang ke- 67 tahun. Penyakit leukemia akut yang dideritanya sejak 1992 membuat Edward W. Said harus berjuang sendirian, persis ketika ia memperjuangkan masalah yang sama kronisnya sejak lebih dari dua dekade perjalanan kariernya sebagai seorang intelektual. Empat bulan sebelum mengembuskan nafas terakhir (Mei 2003), Edward W. Said masih sempat menulis prolog untuk bukunya yang berjudul Orientalism (1978). Prolog itu beliau tulis sebagai persembahan edisi ulang tahun buku tersebut yang ke-25. Prolog itu seolah-olah memberi isyarat akan kepergian Edward W. Said, sebuah isyarat tentang seseorang yang hingga detik-detik akhir kematiannya masih tetap gigih memperjuangkan hak-hak rakyat di tanah kelahirannya. Dalam prolog itu, Edward W. Said terus berbicara soal Palestina, soal penderitaan penduduk di “negeri tak bertuan” itu, dan juga soal dirinya yang telah memasuki usia senja.

 

B.     Karya-Karya

Edward W. Said juga merupakan penulis yang produktif. Ia dikenal sebagai Professor Sastra Bandingan (Comparative Literature) di Universitas Columbia. Adapun sebahagian hasil karya-karya Edward W. Said adalah sebagai berikut: Orientalism (1978) The Question of Palestine (1979), Covering Islam: How The Media and The Experts Determine How We See The Rest of The World (1981), The Politics of Dispossession (1994), Peace and Its Discontents: Essays on Palestine in he Middle East Peace Process (1995), The Politics of Dispossession and Peace and Its Discontents (1995), The World, The Text, and The Critics (1983), Nationalism, Colonialism, and Literature: Yeats and Decolonization (1988), Musical Elaborations (1991), Culture and Imperialism (1993), Humanism and Democratic Criticism Out of Place (1999), Orientalism 25 Years Later, Worldly Humanism vs The Empire-Builders (2003), An Article : “Arab Portrayed” (1968), An Article : “Palestine, Then and Now: An Exile’s Journey Through Israel and the Occupied Territories” (1992), An Essay : “Representations of the Intellectual” (1994), etc...

 

C.     Pemikiran Edward W. Said

      Edward W.Said adalah tokoh yang “menolak” mendekonstruksi  pandangan oposisi biner di atas. Menurut Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi social-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Karena itu pandangan dan teori-teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif sebagaimana mereka duga. Edward Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori Kritis sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said menggunakan pemikiran tokoh tersebut untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemology Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis. Edward Said merasakan bagaimana penderitaan rakyat Palestina yang terjajah dan kesetiaannya pada Palestina, sehingga ketajaman analisisnya berhasil “menyingkap” teori pascakolonial yang semula terfokus pada masalah kolonialisme, kemudian melebar memasuki dunia ilmiah melalui kajian-kajian teks-teks para orientalis.[3]

      Menurut Edaward Said, orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur. Lebih lanjut Edward Said mengungkapkan bahwa ide diskursus dari Michel Foucault dalam The Archaelogy of Knowledge dan Discipline and Punish sangat berguna untuk  mengidentifikasi orientalisme. Tanpa memeriksa orientalisme sebagai diskursus, kita tidak mungkin dapat memahami disiplin yang sangat sistematis, bahwa budaya Barat mampu mengatur dan bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militeristik, ideologis, saintifik dan imanijatif selama pascaAbad pencerahan. Karena kuatnya pembatasan-pembatasan atas pikiran dan tindakan yang digariskan kaum oriental, maka dunia Timur masa lalu dan juga sekarang terbentuk sebagai objek pemikiran dan tindakan yang tidak bebas. Timur (Orient) adalah imaginative geography yang diciptakan sepihak oleh Barat. Untuk itu harus angkat bicara dan mewakili dirinya sendiri. Karenanya Edward Said lebih suka menyebut orang Timur sebagai the silent others. Melalui kritik terhadap ilmu pengetahuan dengan menggunakan perspektif “the other”, maka kajian poskolonial juga mengkonstruksi bentuk-bentuk pengetahuan baru yang lebih baik dengan menghormati dan menghargai pihak lain (the other).[4]

Orientalisme berasal dari kata orient dan oriental sebagai penjelasan tentang Timur. Secara etimologi, berarti “matahari terbit”, Kemudian masuk dalam kosa kata politik melalui orientalisme, yakni sebuah kajian tentang sejarah, sastra dan seni di Eropa yang dipelopori oleh Edward Said. Singkatnya,  Edward W. Said memandang orientalisme itu selalu terkait dengan 3 (tiga) fenomena, yaitu:

1.      orientalisme itu menurut Said adalah sebuah cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. (disini dipahami bahwa orientalisme dilihat oleh para akademisi Barat yang melihat dunia Timur).

2.      Orientalisme ialah gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (the orient) dan (hampir selalu) Barat (the occident). (istilah ini khusus dipakai oleh para akademisi di level universitas).

3.      Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang berbadan hukum untuk menghadapi Timur, berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskrip-sikannya, mengajarinya, memposisikannya, dan kemudian menguasainya. Dengan kalimat lain, orientalisme adalah cara/gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi (menata kembali), dan menguasai dunia Timur.

Menurut Said, orientalisme adalah doktrin politik yang diarahkan kepada Timur, pada saat Timur lebih lemah dan budaya Barat lebih dominan. Dalam konteks ini, Timur dihadirkan (direpresentasikan) dalam sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif, terbelakang, mentalitas menyimpang, dan sebagainya, sesuai dengan subjektivitas para penulis dan pengamat Barat. Pandangan semacam ini sudah terinstitusionalisasi sejak abad ke-18 sebagai satu sistem kebenaran, dan menurut Said, konsekuensinya, para pengamat Eropa cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik, juga eropasentrik terhadap yang lain (others). Dan malangnya, pada akhir abad ke-19, orientalisme (kajian tentang ke-Timur-an) membawa misi membantu kolonialisme alias penjajahan.

Begitu besarnya perhatian Barat—lewat hegemoni kulturalnya—terhadap Timur, sehingga menurut Edward W. Said antara tahun 1800-1950 saja, tidak kurang dari 60.000 buku telah ditulis pihak Barat tentang Timur Dekat (The Near Orient). Kenyataan ini sama sekali tidak diimbangi oleh pihak Islam untuk juga mengkaji peradaban dan warisan kultural Barat yang sekarang masih berada cenderung tak tersentuh.

      Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya Timur sebagai “sesuatu yang asing”, seringkali bahkan dilihat sebagai sejenis alien atau objek yang indah dan eksotis. Akan tetapi, sebaliknya, Timur juga sering dianggap kasar, bodoh, barbaris, bejat moral, kekakanak-kanakan, “berbeda”.

      Selanjutnya orang-orang Timur ditampilkan sebagai makhluk yang mudah dikecoh, tidak mempunyai energi dan inisiatif, suka menjilat, berpura-pura dan licik. Orang Timur adalah pembohong-pembohong karatan, mereka malas, mencurigakan. Dengan sendirinya, Barat menganggap dirinya rasional dan berbudi luhur, “normal”. Mereka adalah penalar yang cermat; semua pernyataannya mengenai fakta, bebas dari semua bentuk kekaburan. Ia adalah logikawan alami sekalipun mungkin ia tidak memperlajari logika; ia memiliki pembawaan yang skeptis dan menuntut bukti sebelum menerima kebenaran dari sesuatu; intelegensinya yang terlatih bekerja laksana sebuah mesin. Dengan demikian, Orientalisme dapat dipahami sebagai wacana yang memperlihatkan perbedaan yang fundamenlta antara “kami orang Barat”, dan “mereka orang Timur”.

      Dengan ciri-ciri yang dimiliki Barat yang sangat berlawanan dengan Timur, Barat memiliki legitimasi untuk mengatur dan menguasai Timur, dengan dalih Timur tidak bisa mengatur dirinya sendiri dan membebaskanna dari kebodohan. Timur yang tidak berenergi membutuhkan Barat yang kuat. Timur direkrontruksi, disusun kembali, diukir, ringkasnya dilahirkan kembali. Dari asumsi semacam itu, Orientalisme dapat dibahas dan dianalisis sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur – dengan membuat pernyataan-pernyataan tentangnya, memberwenangkan pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman, dan memerintahnya. Dengan kata lain Orientalisme adalah gaya Barat untuk mendominasi, meata kembali, dan menguasai Timur. Dengan demikian, budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyadarkan dirinya kepada dunia Timur sebagai semacam wali atau pelindung, bahkan “diri” yang tersembunyi.[5]

      Dengan berbagai gambaran mengenai Timur yang aneh dan mistis, tidak beradab dan barbar, Barat trus mengkontruksi sebuah wacana yang menempatkan Timur sebagai infeior dan Barat sebagai superior. Dengan cara ini, Barat tidak hanya ingin mendominasi dunia non-Barat melalui imprealisme secara politis dan militer, tetapi setelah banga-bangsa non-Barat memperoleh kemerdekaannya. Barat juga ingin menjajah non-Barat  melalui konstruksi wacana yang dianggap absah dan representatif untuk menggambarkan dunia non-Barat.

Selanjutnya, Edward W. Said membagi 4 (empat) jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam  wacana orientalisme, yaitu:

1.      Kekuasaan politis, yaitu pembentukan kolonialisme dan imperialisme.

2.      Kekuasaan intelektual, yaitu mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain.

3.      Kekuasaan kultural, yaitu kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki estetika kolonial, yang secara mudah bisa ditemukan di India, Mesir dan negara-negara bekas koloni lain.

4.      Kekuasaan moral, yaitu apa yang baik dilakukan dan tidak dilakukan oleh Timur.

Selain itu, Said membuat distingsi antara “latent orientalism” dan “manifest orientalism”, “latent” merujuk pada kehendak untuk berkuasa dari Barat untuk menguasai Timur dan “manifest” merujuk pada detail permukaan atau aspek yang tampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastra, dll), produk budaya, sarjana, dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang “manifest” dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek “latent” dari orientalisme bersifat relatif konstan alias tetap dan tidak berubah, karena kepentingan politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, terdapat 2 (dua) metode yang digunakan Orientalisme untuk membawa dunia Timur ke dalam pengamatan dunia Barat, yaitu:

1.      Lewat persebaran kapasitas pembelajaran modern berikut aparatusnya seperti profesi, universitas, masyarakat profesional, organisasi eksplorasi dan geografikal serta industri penerbitan. Ini melibatkan prestise para sarjana, pelancong dan penyair pertama yang membentuk Timur esensial. Menurut Said, ini semua adalah manifestasi doktrinal dari “latent orientalism” yang memberikan para orientalis itu kapasitas “enunciative (deklaratif)” untuk berbicara dalam bahasa yang rasional mengenai dunia Timur.

2.      Lewat bertemunya pengetahuan orientalis dengan kekuasaan Barat. Orientalis adalah “agen khusus” kekuasaan Barat, “penasehat” yang memasok pengetahuan untuk penciptaan kebijakan kolonial di dunia jajahannya. Kolaborasi antara orientalis dan penguasa kolonial pada akhirnya mengafirmasi pandangan Foucault mengenai ketidak-terpisahan pengetahuan dan kekuasaan. Begitu pengetahuan tentang Timur diproduksi oleh para orientalis, ia langsung diafirmasi, diperkuat dan menjadi faktual oleh administrasi kolonial. Dengan demikian, orientalisme dibentuk secara “latent” oleh kategori identitas yang bersifat oposisional: “kita” dan “mereka”. “Kita” adalah Eropa, kulit putih, yang dideskripsikan oleh para orientalis sendiri sebagai liberal, benar, ramah, terdidik, dan rasional. Di sisi yang lain, identitas ini diperkuat dan dibedakan oleh “Mereka” yang digambarkan sebagai terbelakang, primitif, bodoh dan seterusnya.

Setelah itu, Said juga telah menyibak cacat-cacat dasar yang dipakai Barat dalam memandang Timur (Timur atau Orient dalam hal ini adalah dunia Islam, bukan Asia). Kesalahan utama para orientalis itu adalah menganggap ada satu esensi yang bisa dipakai untuk menjabarkan Islam. Mereka merasa bisa mendefinisikan hakikat masyarakat Arab dan kebudayaan Islam – sebuah kebudayaan dengan sejarah yang kaya dan pengaruh yang menjangkau hingga ke Granada bahkan Asia Tenggara – dalam suatu generalisasi atau simplifikasi yang serba tunggal dan pukul rata (“Islam adalah...”, “Arab adalah...”). Dasar keyakinan ini sebenarnya adalah kecongkakan Barat yang merasa bahwa apa yang dinamakan “peradaban” (ilmu pengetahuan, seni, teknologi, dan perdagangan) hanya berjalan maju di wilayah dan sejarah mereka. Sementara Timur itu statis, terbelakang, eksotis, dan pasif.



[1] Abdul Rahim Karim, Edward W. Said, diakses dari academia.co.id

[2] Andre, Titin, dan Koko, Orientalisme dan Edward W. Said, 2013. Diakses dari scribd.com

[3] Yani Kusmarni, Teori Poskolonial: Suatu Kajian Tentang Teori Poskolonial Edward W. Said,

[4] Yani Kusmarni, Op.Cit, h. 9

[5] Rumpun Sastra Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Poskolonialisme dalam Sastra dan Budaya. 2017. h. 42-43

Komentar