TAKHRIJ HADITS: IRI YANG DIPERBOLEHKAN

            Hukum asalnya sifat iri dan cemburu terhadap kelebihan orang lain dalam Islam tidak diperbolehkan. Karena sifat ini mengandung prasangka buruk kepada Allah dan menimbulkan sikap tidak ridha dengan pembagian yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Akan tetapi Rasulullah SAW mengecualikan beberapa orang yang boleh dan pantas untuk dicemburui karena kelebiahan besar yang mereka miliki. Seperti yang terdapat pada sabda Rasulullah berikut:

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيُّ قَالَ سَمِعْتُ قَيْسَ بْنَ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Abu Khalid -dengan lafazh hadits yang lain dari yang dia ceritakan kepada kami dari Az Zuhri- berkata; aku mendengar Qais bin Abu Hazim berkata; aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain". (HR. Bukhari No. 73 Bab Tekun dalam mencari ilmu dan hikmah)

 

Takhrij Hadits

Hadits yang serupa diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud terdapat dalam kitab-kitab berikut [1]:

1.    Shahih Bukhari No. 1409, 7141, 7316 ;

2.    Shahih Muslim No. 819;

3.    Sunan Ibnu Majah No. 4208; 

4.    Ibnu Hibban No. 90;

5.    Musnad Humaidi No. 99.

Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar terdapat pada kitab-kitab berikut:

1.    Shahih Bukhari No. 5025, 7529;

2.    Shahih Muslim No. 817, 818;

3.    Jami’ At-Tirmidzi No. 1936;

4.    Sunan Ibnu Majah No. 4209;

5.    Musnad Ahmad No. 4536, 4905, 5586, 6132, 6367.

 

Syarah Mufradat

حَسَدَ (hasad). Dapat ditafsirkan secara hakiki (bukan kiasan), akan tetapi huruf istisna’ (pengecualian) disini bersifat munqathi’ (terpisah dengan kalimat sebelumnya). Dengan demikian, maksud dari hadits ini adalah meniadakan sifat hasad secara mutlak, dan kedua hal ini (ilmu dan kebaikan) merupakan hal yang terpuji atau tidak mengandung unsur hasad.

إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ (kecuali kepada dua orang). Demikianlah disebutkan dalam banyak riwayat, yaitu dengan huruf ta’ta’nits (yang menunjukkan bentuk mu’annats). Maksudnya adalah, sifat hasad (iri) tidak dibolehkan kecuali dalam dua hal. Sedangkan dalam bab “I’tisham” (berpegang teguh pada agama).

مَالًا (harta) Lafadz ini disebutkan dalam bentuk nakirah agar mencakup seluruh jenis harta, baik dalam jumlah banyak atau sedikit.

هَلَكَتِه (Menghabiskannya). Kata tersebut digunakan untuk menunjukkan, bahwa ia membelanjakkan semua hartanya sehingga ia tidak memiliki harta lagi. Kemudian Nabi menyempurnakan kata tersebut dengan kata فِي الْحَقِّ (dalam kebenaran), yaitu dalam ketaatan kepada Allah. Kata ini disebutkan untuk menghilangkan adanya sifat boros yang berlebihan.

Maksud  الْحِكْمَةَ  adalah Al-Qur’an seperti yang telah dijelaskan di atas. Ada yang berpendapat bahwa yang di maksud dengan hikmah adalah, segala sesuatu yang melindungi seseorang dari kebodohan dan keburukan.[2]

          Hadits di atas mengemukakan bahwa al-hikmah bermakna ilmu pengetahuan dalam yang diperoleh dalam proses pendidikan. Term al-hikmah yang bentuk pluralnya adalah al-hikam secara leksikal berarti al-falsafah (kebijaksanaan); al-‘adl (keadilan), al-hilm (penyantun); dan al-‘ilm (pengetahuan). Karena itu, batasan term al-hikmah dengan al-‘ilmu secara  harfiyah adalah sama (mutaradifani).[3]

          Lebih lanjut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam men-syarah hadits tersebut beliau menyatakan bahwa yang dimaksud al-hikmah adalah segala yang terhindar dari kebodohan dan segala yang terhalang dari keburukan). Dari sini, dapatlah dipahami bahwa al-hikmah adalah lawan dari al-jahl (kebodohan) dan orang yang berilmu (al-‘alim) juga diterminologikan sebagai lawan dari al-jahil (orang yang bodoh).

 

Syarah Hadits

          Imam Bukhari perihal mencari ilmu menyajikan apa yang disampaikan Umar bin Khattab  berkata. “Dalamilah ilmu agama sebelum kalian menjadi pemimpin.” Abu Abdillah berkata, “Dan setelah kalian menjadi pemimpin” “Sesungguhnya para sahabat Nabi tetap menuntut imu walaupun sudah tua.

          Maksud Imam Bukhari menambahkan “Dan setelah kalian menjadi pemimpin” adalah agar tidak menimbulkan kesan bahwa seseorang dibolehkan untuk tidak mendalami ilmu jika telah memperoleh kekuasaan, karena maksud dari perkataan Umar adalah bahwa kekuasaan sering menjadi penghalang seseorang untuk menuntut ilmu. Sebab, terkadang seorang pemimpin –karena perasaaan sombong dan malunya- tidak mau duduk dalam satu majelis bersama para penuntut ilmu.

          Maka Imam Malik mengomentari tentang keburukannya para qadhi (hakim) dengan berkata, “Jika seorang qadhi telah turun dari jabatannya maka ia tidak mau kembali ke dalam majelis yang pernah diikutinya.” Imam Syafi’i juga berkata, “Apabila terjadi berbagai peristiwa, maka ia tidak akan banyak mengetahui.”

          Ibnu Munir berkata, “Kesesuaian antara perkataan Umar tersebut dengan judul bab adalah bahwa Umar menjadikan kekuasaan sebagai sutu hasil yang dicapai dari mencari ilmu. Oleh karena itu, beliau mewasiatkan kepada para muridnya agar menggunakan waktunya dengan baik dalam mencari ilmu sebelum menjadi pemimpin. Hal ini sangat mendorong seseorang dalam mencari ilmu, karena jika seseorang mengetahui bahwa ilmu merupakan perantara untuk mencapai kekuasaan, maka ia akan menjadi giat belajar.”[4]

          Dalam hal ini, Al-Asqalani berpendapat bahwa maksud Imam Bukhari adalah menjelaskan, sesungguhnya jabatan kepemimpinan menurut kebiasaan sering menimbulkan iri hari dan dengki, namun ada hadits yang menunjukkan bahwasanya iri dan dengki tidak boleh terjadi kecuali dalam dua hal, yaitu ilmu dan kebaikan.

          Tapi suatu kebaikan tidak dapat dikatakan sebagai hal yang terpuji jika tidak berdasarkan ilmu. Seolah-olah Imam Bukhari ingin mengatakan, “Belajarlah sebelum mendapat jabatan agar kalian bisa berlomba-lomba dalam kebaikan.” Dia juga mengatakan, “Apabila sebuah jabatan menurut kebiasaan bisa menghalangi pemiliknya untuk menuntut ilmu, maka tinggalkan kebiasaan tersebut dan pelajarilah ilmu agar kalian benar-benar mendapatkan ghibthah yang sebenarnya.”

          Adapun arti ghibthah adalah seseorang berharap mendapatkan apa (nikmat) yang ada pada orang lain tanpa menginginkan hilangnya nikmat dari orang tersebut.

     Hasad adalah sifat yang terdapat dalam diri seseorang, sehingga ia menginginkan hilangnya nikmat yang dimiliki orang lain.

          Sebagian orang berpendapat bahwa hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain untuk menjadi miliknya sendiri. Akan tetapi pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa hasad adalah bersifat umum. Hal ini disebabkan karena manusia mempunyai tabiat selalu ingin mengungguli orang lain sehingga apabila ia melihat orang lain memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ia akan berharap agar benda itu lepas dari tangannya, dengan demikian ia akan lebih unggul atau paling tidak dapat menyamainya.

          Orang yang mempunyai sifat semacam ini adalah orang yang tercela, jika hal itu terdetik dalam hati atau diungkapkan dengan perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu, sifat tersebut harus dijauhi sebagaimana larangan-larangan lainnya.

          Sifat hasad dibolehkan jika nikmat tersebut dimiliki oleh orang kafir atau fasik yang dijadikan sebagai sarana untuk berbuat maksiat kepada Allah. Ini adalah definisi hasad secara umum. Adapun yang dimaksud dengan hasad dalam hadits di atas adalah ghibthah. Maksud ghibthah adalah perasaan ingin memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain tanpa ada perasaan ingin menghilangkannya dari pemilikinya. Hal semacam ini juga disebut dengan persaingan yang jika dilakukan untuk ketaatan, maka termasuk perbuatan yang mulia sebagaimana firman Allah, “Untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Qs. Al-Muthafifiin/83: 26).

        Sedangkan jika persaingan itu dilakukan untuk kemaksiatan, maka termasuk perbuatan yang tercela sebagimana firman Allah, “Janganlah kalian berlomba-lomba.” Tetapi jika dilakukan dalam hal-hal yang diperbolehkan, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Dari sini seakan-akan Rasulullah bersabda dalam hadits ini, “Tidak ada persaingan yang lebih utama daripada persaingan dalam dua hal berikut ini, yaitu ilmu dan kebaikan.”

         Pembatasan pada dua hal tersebut (ilmu dan kebaikan) dikarenakan ketaatan kepada Allah dapat berupa ketaatan fisik dan harta, atau harta dan fisik. Dalam hadits di atas, Nabi telah mengisyaratkan ketaatan dalam bentuk fisik, yaitu dalam sabadanya: “Dan orang yang diberi Allah hikmah kemudian dipergunakannya dengan baik dan diajarkannya.” Juga dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, “Dan orang yang diberi Allah Al-Qur’an kemudian ia mengamalkannya sepanjang malam dan siang.”[5]

      Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menyatakan bahwa la hasada dalam hadits tersebut adalah merupakan keinginan seseorang untuk mendapatkan nikmat seperti yang dimiliki oleh orang lain, tanpa diiringi dengan keinginan agar kenikmatan itu lenyap dari orang lain dan darinya sendiri. Itu berarti upaya untuk memperoleh ilmu dengan cara mengaktifkan diri dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat urgen dan signifikan.

         Ibnu Baththal mengatakan bahwa hasad yang dimaksud di sini adalah hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah saw dan bukan hasad yang tercela. Ibnu Baththal mengatakan pula, “inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthoh dalam Ilmu dan Hikmah”. Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan dan ilmu yang dimanfaatkan pula), maka seharusnya seseorang ghibthoh (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu) dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.”[6]

 

Munasabah

       Hasud dan iri hati itu sangat berbahaya dan harus dijauhi. Karena motif penyakit hasad ini adalah keinginan hilangnya kenikmatan yag diperoleh orang lain yang akan bermuara pada kebencian atas keberhasilan orang lain. Caranya dengan mengusik dengan perbuatan atau sekedar bersumpah serapah. Perbuatan semacam ini jelas-jelas diharamkan dalam Islam.

          Namun ada iri yang diperbolehkan, yakni seperti dalam kedua poin hadits yang di kaji ternyata Islam memperbolehkan seorang Muslim amat perlu merasa cemburu pada dua orang berikut pertama, orang yang Allah anugerahkan harta, lalu ia infakkan sebagian hartanya tersebut untuk orang lain yang memerlukan. Jelas bahwa bukan kepemilikan hartanya yang boleh membuat kita iri, akan tetapi penggunaan harta tersebut di jalan Allah yang membuat kita termotivasi ingin memiliki pula apa yang Allah karuniakan kepadanya.  Kedua, orang yang Allah karuniakan ilmu berupa Qur’an dan Sunnah, kemudian ia mengamalkan ilmu tersebut dan menyebarluaskannya dengan cara mengajarkannya pada orang lain.      Penuntut ilmu dalam hal ini pendidik ataupun peserta didik diperbolehkan untuk merasa iri ketika melihat orang lain yang memiliki kemampuan atau wawasan keilmuannya yang sangat luas dan mumpuni serta dapat mengamalkannya, baik adalam perkara agama atau yang lainnya. Rasa iri ini bisa melecut semangat atau spirit peserta didik untuk mencari ilmu dengan parameter wawasan orang tersebut selama dalam koridor yang tepat.

          Karena sifat rakus dan ambisius terhadap ilmu tanpa mempertimbangkan keberkahan dan manfaatnya dalam meraih keridhaan Allah maka ini perbuatan tecela sebab akan merusak keimanan seorang penuntut ilmu serta menjadikannya jauh dari segala kebaikan dunia dan akhirat.

          Imam al-Bukhari memberikan hadits di atas dengan judul satu bab dalam kitab ilmu yang berbunyi: (Tekun dalam memperoleh ilmu dan hikmah) dengan memandang bahwa sesungguhnya ilmu adalah wasilah (sarana) dan hikmah adalah hasil secara alami.[7]      

          Term al-hikmah dalam al-Qur’an (Surah Luqman/31: 12) juga diartikan sebagai al-fahmu wa al-‘ilmu (pemahaman dan pengetahuan) yang berasal dari Allah dan diperoleh setelah berusaha dalam kegiatan dan proses pendidikan. Dengan demikian, term al-hikmah pada hadits di atas diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia dan ilmu tersebut bersumber dari Allah.

          Hikmah tersebut ada yang bersifat fitrah dan ada pula yang berawal dari usaha. Dan di antara sebab-sebab usaha untuk mendapatkan hikmah adalah paham dalam agama, dan ia adalah kebaikan yang banyak yang diisyaratkan oleh ayat:

وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah/2: 269)

As-Sunnah memperkuat hal itu dan menjelaskan usaha mendapatkan hikmah:

                                                          مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ                

"Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan kepadanya, niscaya Dia memberikan pemahaman dalam agama kepadanya."

          Dan Sayyid Quthb rahimahullah mengisyaratkan hal itu dalam tafsirnya bahwa hikmah adalah buah tarbiyah Qur`ani: 'Hikmah adalah buah pendidikan dengan kitab ini (al-Qur`an), yaitu kemampuan meletakkan segala urusan di tempatnya yang benar dan menimbangnya dengan timbangan yang tepat, serta mendapatkan kesudahan segala urusan dan pengarahan…' [8]

          Dan tujuan utama untuk mencapai derajat tertinggi dari hikmah adalah bersungguh-sungguh agar lurus dalam ucapan dan perbuatan, dan menggunakan hikmah ini dalam berdakwah kepada Allah :

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl :125)

          Adapun potongan matan hadits di atas yang menyatakan وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا mengindikasikan bahwa seseorang yang telah diberi al-hikmah (dari Allah) hendaklah orang tersebut mengajarkannya pada orang lain. Tentu saja, al-hikmah yang dimaksud dalam hadits ini adalah ilmu-ilmu al-din (ilmu agama). Jadi, ilmu agama merupakan karunia Allah yang amat urgen bagi manusia, maka ilmu tersebut urgen pula untuk disampaikan (diajarkan) kepada orang lain. Dengan demikian, makna ilmu pengetahuan yang terinterpretasi dalam hadits yang dikaji ini mencakup kriteris mahmudah (terpuji) dan harus ditransfer kepada orang lain. Dalam hadits di atas di  pahami bahwa mengajarkan ilmu kepada orang lain sangat penting dan menjadi kewajiban bagi setiap muslim.        

          Dan termasuk rasa syukur orang yang memiliki hikmah terhadap apa yang telah diberikan Allah SWT kepadanya bahwa ia memberitahukan kepada manusia hasil hikmahnya, kesimpulan pemahaman dan pengalamannya. Saat itulah sudah menjadi kemestian orang-orang ingin seperti dia dan mereka ingin mencapai seperti kedudukannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

          Dengan kata lain hikmah berarti seorang penuntut ilmu harus mendidik orang lain dengan akhlak yang dimilikinya dan dengan ajaran yang didakwahkannya dari agama, berbicara kepada setiap orang dengan cara yang sesuai keadaan orang tersebut. 

 


[1] Software Jawamiul Kalim v.4.5

[2] Ibnu Hajar AL-Asqalani. Fathul Baari Syarah: Shahih Al-Bukhari. Terj. Gazirah Abdi Ummah. (Jakarta: Pustaka Azam. 2002) h.315

[3] Al-Munjid, h. 146.

[4] Ibnu Hajar AL-Asqalani. Op.Cit. h. 316

[5] Ibnu Hajar AL-Asqalani. Op.Cit. h. 317-318

[6] Syarah Al-Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah 1/153 di akses dari Rumaysho.com “Hanya Boleh Hasad pada Dua Orang”

[7] Mahmud Muhammad al-Khazandar, Hikmah. 2009. Diakses dari Islamhouse.com

[8] Mahmud Muhammad al-Khazandar, Hikmah. 2009. Diakses dari Islamhouse.com

Komentar